Rekrutmen Calon Jaksa Jadi Topik Penting Pembahasan RUU Kejaksaan
Dalam meminta berbagai masukan-masukan terkait dengan perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, masalah rekrutmen calon jaksa masih menjadi topik pembicaraan hangat.
Hal ini disampaikan saat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Hukum Nasional (KHN), Senin (19/9) untuk mendapatkan masukan-masukan guna penyempurnaan RUU dimaksud.
Sebelumnya, Baleg juga telah mengundang Komisi Kejaksaan untuk mendapatkan masukan serupa.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah, anggota Baleg Subyakto menanyakan bagaimana mekanisme yang baik perekrutan calon jaksa yang dapat dimasukkan dalam RUU ini.
Menurut Subyakto, selama ini sistem rekrutmen masih sangat kurang professional , sistem rekrutmen masih banyak didominasi internal kejaksaan. “Bagaimana hal-hal yang buruk ini bisa kita benahi sehingga ke depan Kejaksaan menjadi lembaga yang kredibel dan akuntabel.
Selain rekrutmen, Subyakto juga menyoroti masalah sistem penempatan, job description sering tidak jelas. “Disinilah yang menjadi keprihatinan kita ketika rekrutmen sudah dilaksanakan dengan baik, di situ terjadi transaksional job description. Bagaimana caranya untuk mengurangi benang kusut sehingga UU ini betul-betul aplikatif,” tambahnya.
Menanggapi masalah rekrutmen calon Jaksa, Anggota Komisi Hukum Nasional Fajrul Falaakh mengatakan, rekrutmen merupakan langkah awal untuk mendapatkan sumber daya jaksa yang berkualitas. Menurut Fajrul, proses rekrutmen yang baik tentunya dimulai dari persyaratan untuk menjadi jaksa harus berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya.
Jabatan jaksa dengan segala tugas dan wewenang yang dimilikinya harus dijabat oleh orang-orang pilihan yang memiliki kemampuan dan pengetahuan hukum secara baik. Jaksa merupakan jabatan fungsional di Kejaksaan yang dapat dijabat oleh pegawai negeri di Kejaksaan dengan kualifikasi memiliki ijasah sarjana hukum dan lulus pendidikan pembentukan jaksa (PPJ).
Menurut Fajrul, status jaksa sebagai pegawai negeri sipil berakibat pada sistem rekrutmen yang tidak jauh berbeda dengan pola rekrutmen PNS pada umumnya. Kejaksaan memiliki kewenangan untuk menetapkan sistem rekrutmen secara otonom namun pola yang saat ini diterapkan pada praktiknya seringkali mengalami deviasi sehingga belum dapat menghasilkan tenaga jaksa yang berkualitas baik.
Fajrul berpendapat, proses rekrutmen yang berjalan selama ini perlu dikaji kembali mengenai efektifitas pelaksanaannya di lapangan. Beberapa pendapat menyatakan bahwa proses yang telah dijalankan oleh Kejaksaan dalam melakukan rekrutmen masih belum dapat menghasilkan sumber daya Jaksa dengan kualitas yang diharapkan.
Dia menambahkan, rekrutmen calon jaksa sebaiknya tidak dilakukan secara otonom oleh Kejaksaan itu sendiri, namun dilakukan oleh pihak ke tiga yang kompetensi dan integritas untuk memilih calon-calon Jaksa yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Pihak ke tiga dimaksud bekerja secara transparan dan akuntabel. Hal ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Kejaksaan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap Kejaksaan.
Sementara dalam memberikan masukannya terkait rekrutmen calon jaksa, Direktur Penuntutan KPK Warih Sadono mengatakan,untuk membangun sumber daya yang professional proses rekrutmen perlu dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
Dia mencontohkan, di KPK rekrutmen dilaksanakan oleh Pihak ke tiga dalam hal ini Konsultan. Proses rekrutmen dilaksanakan tanpa campur tangan dari instansi sehingga proses penyaringan dapat dilaksanakan secara professional dan pada tiap-tiap proses diumumkan secara transparan kepada publik. Dengan cara ini diharapkan hasil yang diperoleh dari proses rekrutmen adalah mendapatkan SDM yang professional. (tt)